Wedang Uwuh
November 5, 2008
Rakyat Indonesia insya Allah adalah
rakyat yang tangguh. Di saat pengusaha besar bangkrut habis-habisan dan
menyedot uang negara ratusan triliyun untuk menyelamatkannya, masyarakat
kecil bisa menyesuaikan diri relatif lebih cepat. Mengapa bisa
demikian? Baca-baca tulisannya Adi Sasono, saya memahaminya karena mereka menjalankan ekonomi mikro dengan baik.
Saya punya teman kuliah di Jurusan Fisika MIPA UGM, namanya Yuwono yang
sering menggerutu tentang rakyat kecil Indonesia yang makan sampah.
Ilustrasinya saat para tuan Belanda makan steak dari bagian daging sapi
yang paling baik, rakyat kecil digiring untuk bisa menikmati bagian yang
mereka buang: jeroan, tulang-belulang, tetelan, kulit, moncong dan kaki
dalam bentuk soto, tahu campur, tengkleng, rawon dan sebagainya. Saya
sendiri tidak berkeberatan dengan situasi ini. Naiknya jeroan dan
balungan ke meja makan itu merupakan karya kreativitas masyarakat.
Bersama dengan bisnis pakaian/perabotan bekas (owol-owol), makanan
sampah ini lah inti dari ekonomi mikro. Namun tidak berarti saya
menyetujui recycle makanan yang telah dibuang ke tempat sampah sebagai makanan manusia kembali lho!
Belakangan, di Jogja muncul paket kemasan bahan minuman anget yang
diberi nama wedang uwuh oleh penemunya (entah siapa). Konon, wedang uwuh
pertama kali diperkenalkan di Imogiri. Itu lah sebabnya pada kemasan
yang dijual di pasaran disebut-sebut minuman dari makam para raja-raja.
Minuman dari makam? Serem, tapi saya menggemarinya. Kalau diperhatikan
sebenarnya biasa-biasa saja. Wedang uwuh itu wedang dengan aroma
jahe-cengkeh dengan pewarna merah dari kayu secang. Kata uwuh datang
dari bahan aroma cengkeh yang tidak diambil dari bunga seperti lazimnya
bumbu masak biasa tapi dari batang-batang kecil dan daun; sampah pohon
cengkih.
Cara membuatnya benar-benar ekonomi mikro. Baca saja petunjuknya:
cuci semua bahan kecuali gula batu. Artinya, pekerjaan mencuci
dibebankan ke konsumen, hemat biaya produksi! Masukkan semua bahan ke
cangkir. Memarkan dulu jahenya. Tuang air panas. Aduk-aduk sampai gula
batu larut. Siap disruput pada saat dingin musim hujan sehari-hari saat
ini.
Sumber: http://cemplon.blog.ugm.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar